Selasa, 09 November 2010

Urbanisme dan Manusia Tragis


            Sudah menjadi pendapat umum, masyarakat urban-kosmopolitan seperti kita-kita ini terbentuk akibat oposisi antara kelas kapitalis dan kelas proletar. Tapi, pendapat ini dilandaskan pada paradigma pertentangan kelas ala Marxisme (*jangan mencampuradukkan Marxisme dengan Komunisme). Dewasa ini, bentuk oposisi antar kelas sudah kehilangan rohnya.
Sistem perekonomian kapitalis terbukti piawai dalam membentuk dan mewujudkan masyarakat urban-kosmopolitan gara-gara mondialisasi yang dibayang-bayangi semangat neoliberalisme dan kemudian neokolonialisme. Untuk konteks Indonesia, semangat ini terutama sekali kentara pada sikap para industriawan multinational corporation yang masih kokoh menancapkan kuku bisnisnya, sekalipun Negeri Nyiur Melambai ini sempat disapu gelombang krisis moneter. Oleh karena itu, unjuk rasa karyawan atau buruh, yang belakangan ini kerap marak di kota-kota besar, sebenarnya bukanlah semata-mata demi menjungkalkan kaum kapitalis (= ideologis), melainkan menuntut peningkatan kesejahteraan hidup (= ekonomis). Dalam ungkapan lain, ujung-ujungnya duit!. Menuntut hidup sejahtera, dalam wacana urbanisme-kosmopolit, tentu bukan hal yang salah, asalkan tidak melanggar hukum. Sebab sebagai profesional, yang secara mandiri menguasai ketrampilan tertentu, sudah selayaknya seseorang itu bekerja baik, kemudian mendapatkan upah atau gaji yang proporsional demi hidup sejahtera bersama keluarga. Cuma kenyataannya sering kali tak sesuai harapan.
Seorang kawan saya, sarjana ilmu bahasa lulusan perguruan tinggi negeri Yogyakarta, belum lama ini menelepon saya. “Saya mau pulang ke Yogya, saya tak tahan hidup di Jakarta, ujarnya terpatah-patah menahan amarah. Ceritanya, sudah sebelas tahun ia mengabdi di sebuah kampus swasta sebagai dosen, artinya selama itu pula ia mencoba menjadi anggota urban-kosmopolitan di Jakarta. Bahkan demi peningkatan karier, ia pun rela membiayai dirinya sendiri untuk memperoleh gelar magister manajemen. Tapi, ia merasa gerah karena diperlakukan tidak adil oleh direkturnya. Apa sebabnya?. Gara-gara Cuma mengajar bahasa, selama itu gajinya disetarakan dengan gaji S1 (padahal, ia memiliki gelar S2). “Anda memang punya gelar S2, tapi di sini Anda Cuma mengajar bahasa, artinya kami tidak butuh gelar S2 Anda, apalagi S1 Anda bukan di bidang ekonomi. Jadi, wajar saja jika gaji Anda kami sesuaikan dengan ijazah S1 Anda”, tutur sang direktur, konon sambil mengelus-elus kepalanya yang plontos. Kebetulan, kampus tempat kawan saya bekerja ini berupa sekolah tinggi ilmu ekonomi.
Uniknya, sekalipun tidak dibutuhkan, gelar S2 kawan saya tetap dicantumkan tiap kali kampusnya mengurus akreditasi. Ia tak berdaya mengatasi ketidakadilan (kecurangan?) itu, mengingat direkturnya juga seorang fungsionaris partai yang akhir-akhir ini sedang naik daun, sehingga sibuk berseminar dan diwawancarai media massa. Saya tidak tahu persis, partai apa yang dimaksudkan. Yang jelas andai ceritanya benar, berarti direkturnya itu terkategorikan orang yang paling bodoh di Jakarta. Sebab dengan menyatakan “Anda cuma mengajar bahasa”, berarti ia hanya memandang sebelah mata terhadap bidang keilmuan bahasa. Implikasinya, ia sangat tidak memahami eksistensi bahasa sebagai peranti pergaulan mondial. Lagi pula, demi menegakkan citra partainya, mestinya sang direktur itu bersikap adil terhadap karyawannya. Selain itu, demi intelektualitas mestinya ia juga bersikap profesional dan bijaksana dalam memandang hubungan antara keahlian karyawan dan gaji yang akan diterimanya. (ternyata sang direktur itu bergelar doktor, artinya aneh bagi saya jika perilakunya kurang intelek).
Bersikap profesional dan bijaksana, sebagaimana dipercaya oleh para pakar manajemen SDM, akan membuat karyawan termotivasi, bergirang hati dalam bekerja, dan loyal terhadap perusahaan. Implikasinya, karyawan pun memiliki fokus yang sehat dan positif dalam meraih kehidupan sejahtera. Sementara itu, kehidupan sejahtera berkelindan dengan cita-cita urbanisme-kosmopolit, yakni: punya rumah sendiri, punya mobil sendiri, dan punya tabungan di bank. Ikon-ikon dalam budaya urban-kosmopolit ini pun bisa dilihat dengan nyata: mall, plaza, restoran asing, baju trendy, kafe, bioskop, diskotik, handphone, internet, laptop, home theatre, musik pop, majalah bergengsi, gelar kesarjanaan, motor besar, kredit mobil, time zone, atau karaoke. Nah, melihat ikon-ikon semacam ini, cobalah renungkan rasa geram jenis apa yang dirasakan kawan saya yang sarjana bahasa itu terhadap direkturnya?. Tak salah jika ia memilih pulang kampung!. Paling tidak, dengan pulang kampung ia akan terlepas dari ikon-ikon yang melekat pada kehidupan urban-kosmopolit, terlepas dari ‘tuntutan’ hidup, bisa membiayai hidup sehari-hari sesuai kebutuhan, hidup sejahtera bersama keluarga dengan keinginan-keinginan yang sederhana, dan mungkin bisa terlepas dari rasa gengsi pergaulan urban-kosmopolit, walau pun keadilan akan profesionalisme di lingkungan lembaga, institusi, atau perusahaan sulit didapat.

___________________________________________