Selasa, 26 Oktober 2010

Sepenggal Rasa

“Tentang Sekuntum Bunga”
Malam ini aku menyempatkan waktu untuk minum kopi di warung kopi pinggir jalan langgananku. Biasanya janjian bersama teman-temanku di warung kopi ini untuk sekedar berbincang-bincang sejenak sambil menikmati malam dengan segelas kopi, namun kali ini aku ingin sendiri saja. Hampir saja habis kopiku, aku menoleh ke arah jalan. Aku melihat seorang pemuda memperlambat laju motornya lalu berhenti di dekat warung kopi tempat dimana sekarang aku memandang memperhatikannya. Pemuda itu mengambil ponsel dari dalam saku celananya, lalu membaca pesan singkat yang baru saja diterimanya. Setelah itu ekspresi wajahnya tiba-tiba berubah menjadi seperti lesu, seakan kekecewaan telah mematahkan semangatnya untuk tak lagi melanjutkan perjalanan ke tempat yang akan ia singgahi malam ini. Dan pemuda itu memarkir sepeda motornya dekat dengan warung kopi, lalu ia duduk di sebelahku sambil memesan segelas kopi. Akupun dengan spontan memesan minuman yang sama, seolah-olah aku akan mempunyai teman ngobrol yang baru malam ini.
Dalam diam duduknya pemuda itu sesekali menundukkan kepalanya. Segelas kopi pun tiba di hadapan kami masing-masing. Pemuda itu mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong jaketnya dan mengambil sebatang rokok lalu membakarnya, ia hisap dalam-dalam lalu dikeluarkannya dengan panjang, seakan perasaannya pada malam itu ingin ia keluarkan juga bersama asap rokok agar terbang tinggi dibawa angin. Ia lalu membuka retsleting jaketnya dan dengan perlahan-lahan mengeluarkan sekuntum bunga mawar berwarna merah dari balik jaketnya. Bunga itu ditaruhnya dekat dengan gelas kopi. Dan pandangan mata serta pikiranku pun menjadi tertuju pada bunga itu. Awalnya aku ragu untuk bertanya kepada pemuda itu, namun aku mencoba untuk mencairkan suasana pada saat itu. Dengan nada santai, aku langsung bertanya kepada pemuda itu : “bunganya masih segar mas, masih harum lagi… memang buat siapa mas bunganya? Buat pacarnya ya?”, lalu pemuda itu sejenak memandangku, kemudian mengangguk perlahan penuh keraguan. Dan kami pun diam sejenak. Aku memanggilnya mas walau padahal aku tahu umurnya dibawahku, biar enak saja menegur orang yang baru kita lihat. Lalu pemuda itu memulai pembicaraan tanpa melihat ke arahku : “sebenarnya bunga ini buat calon pacar saya, mas, itu juga kalau diterima..!! rencananya malam ini saya janji mau kerumahnya, saya mau mengutarakan perasaan yang sudah lama saya pendam. Tapi tadi saya dapat sms dari dia,  katanya, dia baru saja balikkan lagi sama mantannya”, kemudian pemuda itu menoleh kepadaku dan kembali menunduk sambil menghisap rokoknya lalu menghembuskannya dengan wajah sedikit diangkat.
Langit hitam menggantung dalam benak pemuda itu, mungkin ia takkan pernah lupa dengan kejadian malam ini. Pandangan dan pikiranku pun kembali tertuju pada sekuntum bunga mawar berwarna merah, memandang pemuda itu dari kedalaman jiwaku. Ya, sekarang aku ingat betul, aku melihat pemuda itu seperti aku dulu. Perasaanku ingin sekali berbagi cerita dengan pemuda itu atau sedikit memberikan semangat dan nasihat, tapi kupikir itu sama saja menasihati diriku sendiri pada waktu dulu. Tak terasa kopiku sudah hampir habis, sudah cukup lama aku berada di warung kopi ini, saatnya aku untuk pulang. Sebelum pergi dari tempat dudukku, aku sempat berkata kepada pemuda itu : “minum kopi adalah sebuah pekerjaan bagi orang yang sedang menanti. Ya paling tidak, ada yang kita nikmati disaat kita menanti”. Setelah membayar minumanku, aku pamit pulang kepada pemuda itu.
Di perjalanan pulang, aku merasa ingin segera sampai rumah dan cepat-cepat berada di dalam kamarku. Entah mengapa, Melihat pemuda tadi membuatku ingin sekali menjemput kenangan. Sampai juga aku di rumah dan segeralah aku menuju kamar. Kunyalakan lampu kamar dan sejenak duduk di kasur, setelah itu aku menghampiri sebuah foto yang tertempel di pintu lemari pakaianku, yang di sampingnya terdapat sekuntum mawar yang sudah layu, bahkan warnanya pun sudah usang. Tapi aku masih sangat hapal warna bunga itu dulu. Bunga itu adalah sekuntum mawar berwarna merah. Bunga itu sudah cukup lama berada di dalam kamarku dan bersanding dengan foto itu. Memang sengaja aku simpan sebagai kenangan, karena kejadiannya sama seperti pemuda yang tadi menemaniku minum kopi di warung. Entah sampai kapan bunga itu mampu kusimpan. Aku kembali duduk di kasur sambil sejenak tertegun menatap foto dan sekuntum bunga yang usang itu. Terlintas dalam pikiranku untuk menceritakan tentang sekuntum bunga itu, maka aku bergegas menghidupkan komputerku, tempat dimana aku merangkai kata, namun belum pernah kupersembahkan kepada siapapun.
Ketika duduk berhadapan dengan komputerku, aku sempat bingung harus mulai merangkai kata dari mana, tapi biarlah mengalir seperti ini saja : “Bunga menjadi salah satu bentuk simbol persembahan banyak orang untuk mengungkapkan perasaannya kepada orang yang dituju. Bunga dapat mengiringi ucapan selamat kepada orang yang sedang berbahagia karena berhasil mengawali sesuatu yang baru, bunga juga mewarnai sebuah prosesi duka cita yang menyedihkan, hingga menjadi persembahan cinta bagi para kekasih yang dilanda kasmaran. Sayangnya, di balik itu semua kita tidak pernah tahu perasaan sang bunga. Apakah setiap kuntum bunga menikmati keadaan suasana saat dimana ia berada?, kita tidak pernah tahu.
Mungkin begitulah tentang sekuntum bunga. Begitu pula dengan aku yang selalu mencoba untuk terlihat nyaman di setiap suasana dimana aku berada. Aku hanya ingin berusaha di hadapan mereka bahwa manusia yang lain melihatku baik-baik saja saat aku bersama mereka, walau kadang sebenarnya aku tidak menikmati suasananya. Memang sudah sepatutnya aku sebagai manusia harus selalu dapat menempatkan diri yang pantas sesuai dengan suasana dimana aku berada dalam keadaan bagaimanapun, walau kadang aku harus bersandiwara terhadap diriku sendiri.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 03.00 dini hari, rasa kantuk telah berhasil merasuki diriku. Cukup sudah yang kudapat hari ini, saatnya berbagi waktu dengan kasur, bantal, dan guling. Komputer sudah kumatikan, tapi tidak dengan jiwa, dan angan ini. Mereka harus tetap terbang mengarungi cakrawala dan menemukan dunia baru untukku. Semoga mimpi jadi nyata.


Wassalam
Penulis: Nanda “Kakek” Aditama
__________________________