Selasa, 19 Oktober 2010

“Saya Si Tolol Yang Berijazah.”


            Dalam wacana akademik, intuisi bahasa sangat bersifat ilmiah, asal berangkat dari sesuatu yang konkret, sehingga dapat dibuktikan secara logis dan objektif. Jadi sesuai intuisi, kita tentu bisa memahami bahwa akting kelima pemuda dalam iklan Sampoerna Hijau versi bintang jatuh itu: (1) bersifat kontekstual, andai dihubungkan dengan penampilan mereka ~ ramai-ramai ronda malam beranalogi dengan ramai-ramai menikmati sedapnya Sampoerna Hijau; (2) bersifat kondisional, yang bertalian dengan aspek psikologi ~ mencuatkan suasana humor melalui asosiasi antara dinginnya malam dan Krisda yang jatuh “dari langit”; dan (3) bersifat dinamis, yang berkaitan dengan proses kreatif ~ mengangkat mitos “bintang jatuh”.
            Pemahaman di atas ini bisa saja bertentangan dengan hukum dan logika umum ~ yang teorinya mungkin diberangkatkan dari adagium “petugas ronda adalah sekumpulan orang yang gemar bergosip”. Tetapi, kita bukan sedang “mencocok-cocokkan” teori. Kita sedang berhadapan dengan subjek hidup yang unik dan dinamis, yaitu lima pemuda yang malam itu sedang ronda. Dengan intuisi, kita bisa membongkar misteri di balik “dambaan” si subjek terhadap Krisda. Dengan intuisi, kita juga mampu memahami mengapa si subjek cenderung “memilih” ronda malam. Implikasinya, kita harus mampu menarik benang merah antara intuisi kebahasaan dan aspek luar bahasa yang mewarnai “dambaan” dan “pilihan” mereka.
            Dalam pemahaman makro, intuisi kerap dijadikan perhatian khusus para pakar psikologi. Intuisi berkaitan dengan proses pengembangan potensi seseorang untuk menjadi manusia yang kebutuhan dasarnya terpuasi, yang tahu diri, sadar lingkungan, dan bisa mengaktualisasikan dirinya. Menurut Abraham Maslow (1908-1970) ~ yang kondang disebut Bapak Psikologi Humanistik ~ dibutuhkan suatu pendidikan model baru. Selama ini, murid, siswa, atau mahasiswa hanya dicekoki teori dan nyaris tidak pernah dibimbing atau dimotivasi menyelidiki realitas secara langsung dengan pikiran yang segar. Dampaknya, mata pelajaran atau mata kuliah mereka adalah telaah apa yang pernah dilakukan orang lain dan bukan “melakukan sesuatu sendiri”. Bahkan, mahasiswa tingkat pascasarjana pun tidak memperoleh peluang cukup untuk melakukan pengamatan tangan pertama.
            Dalam proses pengembangan potensi, jika terlalu banyak dicekoki teori, akan menumpulkan intuisi dan kreativitas individu. Atau, memisahkan teori dari pengalaman dan praktek akan membahayakan teori itu sendiri. Maslow menegaskan lagi, proses pendidikan harus dilandaskan pada hasil-hasil yang akan dicapai, bukan pada cara-cara. Hasil-hasilnya antara lain: pemahaman si murid atau si mahasiswa secara baik dan benar terhadap diri sendiri dan nilai-nilai luhur kehidupan. Mereka akan mampu berolah rasa mengasuh intuisi dan kreativitasnya. Perihal pemahaman terhadap nilai-nilai luhur, dalam wacana kultural, sebenarnya sudah dilakukan orang indonesia jauh sebelum Maslow menelurkan pendapatnya. Sejak zaman kerajaan Mataram (abad ke-9), nenek moyang kita telah mewarisi lebih dari 1.000 kitab sastra yang ditulis di atas daun lontar (keropak). Kitab-kitab sastra itu mengandung anasir nilai-nilai luhur kehidupan yang bersinggungan dengan aspek moral, religi, dan tradisi. Sebagai contoh, di dalam kitab Krsnayana karangan Mpu Triguna ~ zaman keemasan Kerajaan Kediri abad ke-11 ~ secara simbolik diceritakan riwayat Kresna sebagai anak yang luar biasa nakalnya, namun dikasihi orang karena gemar menolong. Yang patut digarisbawahi, nilai-nilai luhur ini tidak untuk konsumsi institusi pendidikan formal. Ini lebih bersifat informal, hanya dijadikan bahan dongeng pengantar tidur bagi anak-anak. Namun, hakikatnya tetap sama: mengasah intuisi dan kreativitas individu.
            Ketajaman intuisi dan kreativitas rupanya berpengaruh sangat signifikan terhadap masa-masa produktif seseorang ~ masa-masa seseorang aktif di lingkungan pekerjaannya. Karena, individu ditengarai memiliki impian atau hasrat yang berkelindan dengan kebutuhan sendiri, seperti: ingin hidup aman, sejahtera, dan terkenal. Itu sebabnya, Maslow berkomentar kritis terhadap kemunculan teori “Y”. teori ini, yang dicetuskan pakar manajemen Douglas MacGregor (1906-1964), memang bertumpu pada teori Maslow tentang kebutuhan manusia. Namun, yang penting dari teori MacGregor, ternyata sejumlah besar orang ~ di dalam organisasi ~ mampu memecahkan masalah keorganisasian melalui imajinasi, intuisi, dan kreativitas. Kemampuan ini bukan hanya dimiliki orang-orang tertentu saja, seperti: mereka yang dianggap intelek, kaum the haves, atau mereka yang bergelar doktor. Oleh Maslow, teori ini diberi catatan: dunia bisnis butuh dukungan orang-orang yang matang dan berpenyesuaian baik. Oleh karena itu, orang-orang yang tak bermoral, sinis, yang selalu mengeluh, dan kaum provokator ~ orang yang intuisi dan kreativitasnya tumpul ~ andai direkrut ke dalam perusahaan, pasti akan menyulitkan lingkungan kerja dan perkembangan perusahaan itu. Maka, manajer yang sehat sama pentingnya dengan karyawan yang sehat.
            Berpijak dari kenyataan ini, hanya ada satu hal yang dapat dipetik, yakni kita bebas berintuisi. Kerangka pikir (konstruk) lama yang menyebut bahwa teori adalah bukti keilmiahan satu-satunya ~ oleh karena itu tidak mengakui keilmiahan intuisi ~ harus dibuang jauh-jauh. Konstruk semacam ini merupakan barang impor sisa-sisa tradisi keilmuan barat. Apa bangganya mendewa-dewakan barang impor, kalau ternyata barang kita sendiri lebih baik.

_________________________________