Selasa, 15 November 2011

“Bertindak Lokal, Menangis Global”

 
Saya tidak tahu persis apa maksud think globally, act locally.
Seorang teman. Tinggalnya di Pondok Indah. Ia sangat suka wayang dan keris. Ia juga suka bertirakat ala Jawa. Namun hampir tiga harian ibu-ibu separo baya itu tak keluar kamar karena menangis ketika bintang global Freddie Mercury wafat.
Apa nama untuk airmata seduka itu?. Berkelakuan lokal, bersedih global?.
Ada lagi teman di kawasan Cipete. Ia gemar batik. Paling sensitif kalau jiwa nasionalismenya disepelekan. Hidupnya sangat teratur. Pukul 9 malam pasti sudah tidur. Tapi ibu-ibu muda itu rela terkantuk-kantuk menunda tidur sampai hampir pukul 1 dini hari gara-gara ingin menyaksikan live pemakaman raja pop dunia Michael Jackson.
Apa pula nama untuk airmata seduka itu?. Berjiwa lokal, berduka global?.
Hal lain. Mungkin tak banyak yang tahu latar belakang Ismail Marzuki yang kini menjadi nama pusat kesenian Taman Ismail Marzuki di kawasan Cikini. Bahwa Ma'ing, panggilannya, adalah penggubah lagu-lagu perjuangan Indonesia seperti Gugur Bunga, Rayuan Pulau Kelapa dan lain-lain, tentu sudah banyak yang tahu.
Tapi banyakkah yang tahu bahwa lulusan MULO ini (setingkat SMP zaman Belanda, jenjang pendidikan lumayan tinggi pada masa itu) adalah penggemar lagu-lagu bule. Ia kolektor banyak piringan hitam lagu-lagu Belanda, Perancis, Italia. Irama Latin seperti Rumba dan Tango termasuk kegemarannya pula. Ia pun mengadaptasi salah satu lagu Rusia menjadi lagu berbahasa Sunda, Panon Hideung.
Apalah julukan yang pantas kita berikan kepada Ismail Marzuki?. Belajar global, berekspresi lokal?.
Kembali ke ibu-ibu. Ibu-ibu di Pondok Indah itu, yang gemar ajaran leluhur Jawa tetapi mengidolai pentolan Queen dari mancanegara, banyak ikut andil dalam menggali kekayaan budaya nenek moyang. Ia misalnya beberapa kali menjadi penyandang dana pergelaran wayang kulit dan wayang orang.
Sedangkan ibu-ibu di Cipete itu, yang maniak batik namun mengidolai Jacko, sangat peduli dunia pendidikan untuk meningkatkan daya saing dan kebanggaan orang Indonesia dalam percaturan global.
Salahkah keduanya jika lebih mengenal Freddie dan Jacko ketimbang Ismail Marzuki, Si Pitung maupun... ambil satu contoh lagi saja... Si Macan Kemayoran?.
Di kawasan tempat tinggal mereka kini, dulu juga ada Salihoen alias Si Pitung dan Murtado alias Macan Kemayoran. Pahlawan lokal itu mungkin tidak memperjuangkan kesenian atau pendidikan. Tapi intinya sama. Semua sama-sama memperjuangkan kebanggaan menjadi Indonesia.
Si Pitung dari kawasan Rawabelong berkelahi melawan Belanda untuk kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Si Macan Kemayoran sudah berontak ketika dari tiap lima ikat padi yang dipanen, masyarakat harus setor empat ikat ke kompeni (sebenarnya prosentasi yang masih lebih mending ketimbang dari emas yang dikeruk Freeport, Indonesia cuma dapat 1 persen).
Tentu nggak ada salahnya mengidolai orang jauh. Kan ada kata-kata mutiara, "nabi tidak terkenal di kampungnya sendiri". Selalu masyarakat dari kampung lain yang memujanya.
Masalahnya... Ismail Marzuki, Si Pitung dan Si Macan Kemayoran apa juga kita perkenalkan ke mancanegara, sehingga ada juga ibu-ibu di sana yang pernah menangis untuk meninggalnya Ma'ing, Pitung dan Murtado?.


____________________