Rabu, 31 Agustus 2011

Tubuhmu, Hewanmu, Jiwamu...


Selain Naga Bonar, yang saya ingat dari penulis skenario Asrul Sani adalah kutipannya tentang tubuh. Sastrawan itu mengingatkan bahwa tubuh kita salah-salah justru menjadi beban kita.
Dalam bayangan saya, tubuh tak harus berarti badan. Itu bisa berupa benda-benda di luar raga namun kita rasakan terkait erat dengan diri kita. Misalnya mobil, rumah dan perabotan di dalamnya. Karena terkait erat, kita lalu senantiasa cemas meninggalkannya.
Saya teringat film First Knight yang dibintangi Sean Connery sebagai raja. Sang raja melihat seorang ksatria yang tak punya rumah, tak punya kekasih... tak punya apa-apa. Pantas, menurut raja, pemuda itu tak takut meninggalkan apa-apa. Ia tak takut mati. Bahkan mungkin ksatria yang diperankan oleh Richard Gere itu tak merasa memiliki tubuhnya sendiri.
Kita bukan First Knight. Kita merasa memiliki tubuh kita. Dan masih untung ketika mudik tubuh kita mau nggak mau turut terbawa pulang kampung. Tak demikian dengan rumah. Tempat hunian berikut perabotnya itu tetap tertinggal di kota. Orang jadi berpikir tentang keamanannya.
Itulah antara lain yang saya sebut beban. Maka CCTV kini tak cuma dibicarakan dalam kasus Nazaruddin. Masyarakat pun jadi butuh . Mereka mulai belanja alat intai tersebut. Pemilik rumah bisa memonitornya dari kampung halaman melalui HP. Bagaimana dengan hewan piaraan?. Hewan tak bisa diajak bareng dalam perjalanan mudik. Mereka juga tak bisa dipaketkan via jasa kurir seperti kini banyak sepeda motor dikirim ke kampung lalu pemiliknya naik kapal, bis maupun kereta.
Maka maraklah jasa penitipian hewan seperti anjing dan kucing di ibukota selama lebaran. Sebut antara lain yang saya ketahui di Kemang, Kebayoran Baru, Tomang maupun yang relatif murah di Ragunan.
Biaya sewa kandang, belum termasuk makan dan minum, bisa mencapai Rp 70 ribu per hari. Tak semua hewan bisa diterima. Mereka rata-rata cuma mau dititipi hewan-hewan yang telah mendapat sertifikasi vaksinasi, bebas kutu, tidak menyusui dan tidak bunting.
Semakin hewan-hewan itu terkait dengan diri kita, semakin hewan-hewan itu kita anggap laksana badan kita sendiri, semakin cemas kita meninggalkannya. Apalagi kalau sudah banyak "investasi" kita kepadanya misalnya biaya salon hewan yang bisa mencapai Rp 100 ribu lebih per bulan.
Atau sebaiknya kita tak usah punya piaraan?. Cukuplah badan kita cuma berupa tubuh, kendaraan dan rumah sehingga kita lebih tenang ketika mudik. Tak usahlah rumah yang sudah jadi beban ketika kita tinggalkan itu ditambah-tambah lagi dengan beban meninggalkan ikan, burung, kelinci, kucing, anjing dan lain-lain belum lagi tanaman di halaman.
Ya mungkin perjalanan pulang kita terasa lebih ringan tanpa beban-beban tersebut. Tapi betapa garingnya juga hidup di ibukota tanpa hewan maupun tanaman yang kita sukai. Padahal waktu untuk berdenyut di Jakarta jauh lebih berbulan-bulan ketimbang cuma beberapa hari mudik.
Hmmm... Sekarang bukan maksud saya menentang senior, almarhum Asrul Sani. Tapi bagaimana kalau justru jiwalah yang menjadi beban bagi tubuh kita?.
Pernahkah Sampeyan di Jakarta mendapat BBM/SMS dari kekasih, "Tubuhku baru mendarat di Solo / Medan / Surabaya / dll"?. Yang berarti jiwanya masih tertinggal di Jakarta dan menjadi beban?.

_____________